#Biorama1

Bincang Opini Bersama

KRISIS LAHAN DAN PANGAN: Ekonomi Politik Kapitalis yang Tak Pernah Rampung

Di Tubir Jurang

Sistem pangan dunia saat ini yang telah terbentuk semakin digeser dengan fakta akan adanya ketidak seimbangan, ketidakadilan dan kekacauan juga mengendap di bawah permukaannya. Disamping itu banyak kejadian ekstrim yang mendongkrak harga. Pasar pangan akan terus bergejolak seiring pertambahan jumlah penduduk dunia. Pasar pangan akan terus bergejolak dan ketidakseimbangan akan terus semakin meluas sampai berpuluh-puluh tahun mendatang seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang diperkirakan akan mencapai jumlah 9 miliar jiwa. (McMahon & (Penerjemah), 2017) Idealnya, kita harus berurusan dengan tekanan berat itu dengan cara kerjasama dan saling berbagi. Namun krisis pangan dunia akhir-akhir telah memarakkan suatu persaingan lepas kendali dan perburuan keuntungan dikalangan pemerintah maupun perusahaan-perusahaan.

Negara-negara tertentu menelikung perdagangan demi menurunkan kenaikan harga di dalam negeri masing-masing, bahkan jika hal itu berarti terpaksa harus membuat negara-negara tentangganya mengemis atau malah jatuh kelaparan. Sementara itu, pasar swasta tergelincir keliru peran seiring dengan masuknya arus besar modal spekulatif yang membuat harga makin bergejolak. Perusahaan-perusahaan perdagangan komoditi berlomba-lomba memperkuat cengkraman mereka atas sumber-sumber pasokan pangan dunia, melakukan integrasi vertikal sampai ke hulu mata-rantai sistem produksi. Yang paling menyentak adalah gejala pengambilalihan lahan-lahan pertanian dalam sekala besar di negara-negara miskin oleh kekuatan yang lebih besar dari luar. Itu semua kcanderungan- kecenderungan yang berbahaya jika tidak ditangani dengan baik dan akan menghasilkan suatu petaka besar bagi kemanusiaan. Keadaan genting planet ini sekarang ini disebabkan konsumsi berlebihan, bukan oleh 80% penduduk miskin di dua per tiga belahan bumi melainkan oleh 20% penduduk kaya yang mengonsumsi 86%  dari seluruh sumber daya alam dunia.

Perburuan Lahan Besar-Besaran

Lahan pertanian, pasar, perkampungan warga, sekolah, jalan, dan infrastuktur lainnya musnah disebabkan oleh lumpur Lapindo Brantas terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Perampasan tanah, kekerasan dan pembunuhan, serta pencemaran lingkungan hidup adalah sejarah kelam peradaban manusia yang terjadi di wilayah konsensi PT Freeport McMoran di Timika, Papua. Pembangunan Bendungan Koto Panjang menenggelamkan ribuan kilo meter persegi area hutan dan perkampungan masyarakat adat Sumatra Barat. Kebakaran hutan dan lahan serta lahan serta kabut asap mengakibatkan kerugian yang luar biasa di Kalimantan dan Sumatera. (Meirina & S., 2019) Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sekitar 159.178.237 hektare lahan telah dikapling perizinan, atau setara 30,65% wilayah Indonesia (darat dan laut).

Sama-Sama Untung atau Rugi?

Melihat cara perjanjian-perjanjian pengambil-alihan lahan itu dirancang dan dilaksanakan, sulit sekali menemukan bagaimana masyarakat lokal bisa mendapatkan untung atau manfaat darinya. Seperti yang telah digambarkan dalam kasus perusahaan Saudi Star di Gambella, mitos besar bila dikatakan masih ada kawasan lahan luas di dunia ini yang ‘menganggur’ atau ‘percuma’. Ini sama saja dengan konsep ‘tanah tak bertuan’ yang digunakan oleh kaum penjajahan masa lalu untuk membenarkan pendudukan mereka atas wilayah-wilayah seberang lautan, lalu menghapus keberadaan penduduk asli.

 Pemberian penguasaan lahan yang begitu luas kepada korporasi menyebabkan berbagai persoalan lingkungan, mulai dari deforestasi, kerusakan gambut, kebakaran hutan, bencana asap, banjir, longsor, polusi air dan udara, dan lain-lain.Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 2.175 bencana di Indonesia. Dari data itu, 99,08% merupkan bencana ekologis karena meningkatnya frakuensi angin putting beliung sebagai dampak perubahan iklim. Selain itu WALHI juga mencatat ada 302 konflik lingkungan hidup dan agraria yang terjadi sepanjang 2017, dan 163 orang mengalami kriminalisasi. Sepanjang 2018, ratusan ribu orang masyarakat adat dan petani menjadi korban konflik agraria dan sumber daya alam dari total 326 kasus di seluruh Indonesia. Ratusan konflik itu melibatkan area seluas 2.101.858 hektare dengan total 186.631 jiwa terdampak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 176.637 orang merupakan masyarakat adat. WHO menyebutkan, ada 23% kematian global berhubungan dengan dampak dan kerusakan lingkungan juta orang per tahun. Menurut data UNEP 2017, kerusakan dan perusakan lingkungan hidup mengakibatkan satu dari empat kematian di seluruh dunia. Dengan kata lain dari 12,6 juta kematian manusia, 8,3 juta kematian terhubung dengan perusakan lingkungan hidup. (Saleh, 2020)

Bagaimana Ini Akan Berakhir?

Hukum yang dibagun di atas negara ini menjadi batu loncatan bagi para kapitalis. Pada Mei 2020, Pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba) dengan semangat sangat eksploitatif sumber daya alam dan terus bergantung pada sumber energi kotor batu bara. Ditambah lagi pasal baru untuk membuka peluang pembongkaran seperti mineral tanah jaran dan radioaktif yang melibatkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Badan Pengawasan Tenaga Nuklir (BAPETEN). Korporasi mendapat karpet merah dari DPR RI melalui draf RUU Pertambangan Mineral dan Batubara ini. tidak hanya itu, para penjabat pembuat keputusan pun justru dilindungi dengan penghapusan Pasal 165 tentang pidana penjara dan denda bagi setiap orang yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR),  atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang menyalahgunakan kekuasaan dan bertentangan dengan undang-undang. (Jatam, 2019) Undang-undang ini mengisyaratkan bahwa negara tak lagi setara bahkan tunduk di bawah oligarki korporasi tambang. Melalui undang-undang ini, kedaulatan negara jadi sangat terhina. Undang-undang ini mengindikasikan, lingkungan akan makin tereksploitasi dan rusak, warga pun terancam berhadapan dengan beragam bencana yang makin parah dan juga krisis pangan. Semua itu adalah fakta-fakta empirik kejahatan ekosida atas nama ekonomi politik kapitalisme.

Para pencaplok lahan yang berkemauan keras itu menyaksikan proyek-proyek mereka bisa terus berjalan. Hal itu yang terjadi didepan mata kita saat ini, namun ujian sebenarnya baru akan datang ketika tuan rumah mulai menderita kekurangan bahan pangan dalam negeri. Apakah rakyat lokal akan tetap berdiri diam menyaksikan truk-truk penuh dengan bahan pangan lewat begitu saja di depan mata mereka? Belum lagi bila akhirnya kekurangan pangan terjadi secara global, maka bagaimana dengan kebutuhan pangan negara-negara investor yang sangat bergantung pada impor? Apakah elite lokal juga bersedia mengizinkan para investor asing membuka lahan-lahan pertanian skala besar di negeri mereka sendiri? Hal itu sangat potensial untuk memancing munculnya keadaan yang serba rawan kekerasan.

Niatnya untuk mengatasi kerusakan atas hukum perizinan yang dimanfaatkan para kapitalis, Indonesia membentuk program Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD), program kerja sama antara UNDP, FAO dan UNEP untuk mengerem laju kerusakan hutan secara global. Menggambarkan hal itu tanpa menyentuh akar masalah, yakni antara kapital dan alam, inisiatif-inisiatif di atas tidak lebih sebagai siasat para baron karbon saja. Apa pun programnya, tidak menyelesaikan krisis, kecuali mengakui proses-proses perusakan lingkungan hidup sebagai problem yang tertanam dalam kapitalisme. Dengan kata lain, mengabaikan aspek ekonomi politik ini dalam rencana aksi bukanlah jalan keluar. Oleh karena itu, usaha memajukan lingkungan hidup global yang sehat harus dimulai bersamaan dengan memajukan sebuah tatanan masyarakat global yang adil, tanpa eksploitasi. Kita menyalahgunakan sumber daya alam karena menganggapnya sebagai komoditas yang kita miliki. Ketika kita melihat sumber daya alam sebagai komunitas tempat kita berada, kita mungkin menggunakannya dengan cinta dan hormat.

Seruan Bertindak

Tidak ada yang tidak mungkin dalam hal ini. perekonomian pangan kita ditentukan oleh pilihan-pilihan politik. Ada dua hal utama yang menunjukkan jalan alternatif ke masa depan dengan beberapa  kemungkinan yang lebih kecil resikonya. Pertama adalah membantu para petani kecil di daerah-daerah miskin untuk menghasilkan lebih banyak bahan pangan. Ini akan menggelindingkan suatu daur proses pembangunan pedesaan dan perkotaan yang lebih tangguh di daerah-daerah tersebut. 

Hal kedua adalah pentingnya segera beralih ke sistem-sistem pertanian berbasis lingkungan yang sesedikit mungkin menggunakan sumberdaya tak terbarukan, sesedikit mungkin menghasilkan pencemaran, dan lebih meningkatkan kesuburan lahan-lahan pertanian, tetapi tetap mampu menghasilkan jumlah bahan pangan yang cukup.

Para investor keuangan dapat menyokong dua tujuan utama tersebut dengan menanamkan modal mereka dalam pengembangan aset-aset dan usaha-usaha di sektor nyata ketimbang berjudi dengan harga-harga di pasar maya.

Kita juga harus semakin membiasakan diri dengan harga bahan pangan yang tinggi, namun ini tidak akan menjadi masalah besar jika semua kelompok masyarakat yang paling rentan mendapatkan perlindungan yang memadai melalui jaring pengaman sosial dan jika harga tinggi memang dapat dibuat sedemikian rupa membantu mendorong perubahan-perubahan yang sangat dibutuhkan dalam jangka panjang. Suatu sistem produksi pangan berkelanjutan memang mungkin akan meminta biaya sangat mahal saat ini, tetapi itu adalah harga yang pantas kita bayar jika benar-benar bisa mewujudkannya.

Penulis: Bawon Ayu Muasir

Sumber

Jatam. (2019, Oktober 2). Jatam. Retrieved Desember 25, 2020, from www.jatam.org: https://www.jatam.org/bahaya-revisi-uu-pertambangan-minerba/

McMahon, P., & (. R. (2017). Berebut Makan: Politik Baru Pangan. Yogyakarta: Insist Press.

Meirina, Z., & S., M. H. (2019, Januari 16). antaranews.com. Retrieved 12 25, 2020, from www.antaranews.com: https://www.antaranews.com/berita/788104/perkumpulan-huma-catat-326-konflik-sumber-daya-alam

Saleh, M. R. (2020). ECOCIDE: Melawan Pelanggaran Berat HAM di Indonesia. Jakarta: RAYYANA Kimunikasindo.