You are currently viewing TIRANI DI NEGERI SENDIRI

TIRANI DI NEGERI SENDIRI

#Biorama5 

Bincang Opini Bersama

Sulitnya Menuntut Keadilan, Bagi Korban Kekerasan Seksual

Oleh: Departemen Keilmuan dan Kajian Isu BEM FP UMY

Kasus kekerasan seksual di Indonesia saat ini sedang mengalami sorotan di masyarakat. Kekerasan/pelecehan seksual merupakan penyerangan yang bersifat seksual baik dengan cara  persetubuhan ataupun tidak, dan tanpa memedulikan hubungan antara pelaku dan korban. Kekerasan/pelecehan seksual dapat berupa percobaan pemerkosaan, pemerkosaan, sadisme dalam hubungan seksual, pemaksaan aktivitas-aktivitas seksual lain yang tidak disukai, dan bisa juga dengan merendahkan, menyakiti atau melukai korban.

Angka kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan dan anak di Indonesia termasuk tinggi. Komnas Perempuan mencatat, selama 12 tahun (2001- 2012), sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Pada tahun 2012, setidaknya telah tercatat 4,336 kasus kekerasan seksual, 2,920 kasus di antaranya terjadi di ranah publik/komunitas, dengan mayoritas bentuknya adalah pemerkosaan dan pencabulan (1620). Sedangkan pada tahun 2013, kasus kekerasan seksual bertambah menjadi 5.629 kasus. Ini artinya dalam 3 jam setidaknya ada 2 perempuan mengalami kekerasan seksual. Usia korban yang ditemukan antara 13-18 tahun dan 25-40 tahun. Berdasarkan laporan data dari Komnas Perempuan, terdapat 4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan pada 2014, 6.499 pada 2015, dan 5.785 pada 2016. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat kekerasan seksual pada anak dan perempuan mencapai angka tertinggi pada tahun 2020 yakni sekitar 7.191 kasus.

Kekerasan seksual merupakan tindak kejahatan yang lebih sulit untuk diungkap dan ditangani dibanding kejahatan yang lainnya karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat Indonesia yang masih sangat rendah. “Sebagian masyarakat kita cenderung menggunakan kacamata patriarki setiap melihat isu pelecehan seksual terhadap perempuan, di mana korban selalu dianggap sebagai pemicu terjadinya pelecehan” – Fitry Wahyuni, 2021. Tapi itu semua bisa dibantah karena bahwasanya perempuan yang bercadar pun sering dilecehkan, bahkan pada siang hari. Tidak ada korban yang “mengundang” untuk dilecehkan. Tidak seharusnya korban yang mengalami pelecehan seksual ini disalahkan karena kejahatan yang dilakukan oleh orang lain.

Oleh karena itu, peran orang tua dan orang- orang sekitar sangat penting agar tidak ada lagi pelaku pelecehan seksual lainnya. Ada beberapa gangguan yang harus diwaspadai oleh orang tua agar tidak terjadi kepada anaknya, salah satunya yaitu parafilia. Parafilia adalah suatu permasalahan yang menyangkut kontrol terhadap impuls. Kondisi ini terjadi baik secara langsung atau intens terhadap fantasi seksual, perilaku yang melibatkan objek, aktivitas serta situasi tertentu yang tidak lazim. Seseorang dengan parafilia selalu memiliki ketertarikan terhadap hubungan seksual. Untuk itu para orang tua harus mendidik anak- anaknya dengan baik, seperti dengan mengajarkan pendidikan seks sesuai dengan usia anak, berikan informasi terkait ciri- ciri predator seksual, menciptakan hubungan yang baik bersama anak, dan yang paling penting orang tua harus menjadi pendengar yang baik untuk anak- anaknya.

Konsepsi kekerasan menurut KUHP, sebagaimana tertuang dalam pasal 289 KUHP, diartikan membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Apakah suatu penggunaan kekerasan harus menimbulkan rasa sakit dan luka, pingsan atau tidak berdaya. Pengertian tersebut diatas hanya memberikan penjelasan penggunaan kekerasan secara fisik, padahal masih ada bentuk penggunaan kekerasan secara psikis seperti pada pelecehan seksual, hal ini tidak terangkum dalam KUHP. Demikian juga kejahatan seksual dalam RUU KUHP terdapat pada bab Tindak Pidana Kesusilaan dalam mencakup 56 pasal (467 -504), terbagi dalam sepuluh bagian, seperti: pelanggaran kesusilaan itu sendiri, pornografi dan porno aksi, perkosaan, zina dan perbuatan cabul (mulai tindak pidana bagi pasangan yang tinggal bersama tanpa ikatan “perkawinan yang sah” sampai dengan persetubuhan dengan anak -anak), perdagangan anak untuk tujuan pelacuran, dan lainnya

Seperti contohnya kasus NW, mahasiswi Universitas Brawijaya yang ditemukan tewas di sebelah makam ayahnya di Mojokerto, Jawa Timur pada Jumat (3/12). Diketahui, NW nekat mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun yang dicampurkan dengan minuman. NW diduga meninggal karena bunuh diri setelah melewati berbagai tekanan psikis. Ia diperkosa dan dipaksa aborsi oleh pacar dan keluarga pacarnya.

Kasus NW ini hanya segelintir kecil dari kasus kekerasan seksual yang ada di Indonesia. Jika kita amati, dapat dilihat bahwa korban tidak berani membawa kasusnya ke jalur hukum / speak up karena kasus korban baru viral dan ditindak lanjuti setelah korban meninggal. Selain itu, banyak pula korban kekerasan seksual yang enggan menyuarakan hak bicaranya karena kerap kali masyarakat menyudutkan dan menyalahkan korban pelecehan seksual. Seperti adanya stigma “makanya, jadi perempuan harus berteman dengan laki-laki yang baik”, atau anggapan bahwa korban merupakan “perempuan penggoda”, kemudian pemikiran bahwa perempuan yang berpakaian tidak tertutup pantas untuk mendapatkan kekerasan/pelecehan seksual karena dianggap mereka “mengundangnya”, dll. Ada juga yang menganggap “Kekerasan seksual adalah aib yang tak perlu dibicarakan”. Hal ini yang menyebabkan korban kekerasan seksual merasa takut sehingga menyebabkan korban harus menanggung luka fisik, batin dan psikis sendiri. Tak jarang luka batin yang harus ditanggung korban kekerasan seksual ini melampaui batas kemampuannya, sehingga menyebabkan korban trauma, stres, depresi bahkan mengakhiri hidupnya sendiri.

Kekerasan seksual termasuk dalam tindak pelanggaran HAM. Di mana kebebasan terhadap ancaman, diskriminasi, dan kekerasan merupakan hak yang sangat penting untuk diwujudkan, termasuk perempuan. Bukan hanya berlaku bagi para penegak hukum saja yang harus melindungi hak dan martabat perempuan terhadap kekerasan seksual, namun masyarakat sekitar juga harus sadar akan pentingnya perlindungan terhadap perempuan. Perlu kita tegaskan sekali lagi bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan, termasuk ke dalam tindak pelanggaran HAM. Dimana hak-hak atas perempuan direnggut dan paling parahnya dapat menimbulkan rasa sakit baik itu fisik ataupun psikis yang akan dialami para korban. Kebanyakan korban dari kekerasan seksual adalah perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan sering kali dianggap lemah. Apalagi dengan ketidaksetaraan status antara perempuan dan laki-laki, menjadi salah satu faktor kekerasan seksual terhadap perempuan yang kerap kali terjadi. Perempuan masih dianggap sebagai second class citizens yang menyebabkan perempuan sering dieksploitasi, dikuasai, dan diperbudak laki-laki. Selain itu, kurangnya pendidikan seks atau kurangnya pendidikan kepada masyarakat juga dapat menjadi alasan terjadi kekerasan seksual.

Hukum seharusnya menjadi salah satu jalan untuk perlindungan bagi perempuan korban kekerasan/pelecehan seksual. Pada Pasal 45 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa “Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia”. Oleh karena itu, karena hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia, maka hak asasi perempuan ini harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan, dan tidak boleh ada yang mengabaikan, mengurangi atau menghilangkannya.

Bicara mengenai kekerasan seksual, belum lama ini juga ramai diperbincangkan di media sosial tentang kasus pelecehan seksual di dua perguruan tinggi di Indonesia; Universitas Sriwijaya (Unsri) dan Universitas Riau (Unri). Dari kedua kasus ini, korban (mahasiswi) sama-sama mendapatkan kekerasan seksual dari dosennya sendiri. Mahasiswi tersebut telah memperjuangkan hak asasi manusianya dengan memberanikan diri untuk speak up. Akan tetapi, bukannya kasus diusut oleh universitas dan pelaku diadili dengan selayaknya, korban tersebut justru mendapat kriminalisasi. Yang satu dilaporkan balik menggunakan Undang-Undang ITE, yang satunya hampir dicoret namanya dari daftar yudisium. Begitu defensifnya kampus dengan kasus kekerasan seksual, hingga sampai hati acuh tak acuh dengan korban dan justru membela pelaku. Miris sekali keadilan bagi korban kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi. (dikutip dari artikel Isma, A. (2021)).

Parahnya lagi, kekerasan seksual di Indonesia masih dianggap remeh oleh oknum oknum terkait. Banyak yang beranggapan jika kekerasan seksual tidak termasuk kedalam masalah pelanggaran HAM, sehingga banyak sekali perempuan yang takut untuk melaporkan hal tersebut. Apalagi jika pelaku merupakan pejabat atau oknum oknum terkait. Ya, tirani di negeri sendiri. Menyalahgunakan jabatan untuk melindungi diri juga keluarga.Padahal, Indonesia sendiri merupakan negara hukum. Seperti yang tertera pada Pasal 1 Ayat 3 Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Negara hukum mensyaratkan bahwa setiap tindakan dari negara haruslah bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum, dilakukan secara setara, menjadi unsur yang mengesahkan demokrasi, dan memenuhi tuntutan akal budi. Mengandung pengertian pula bahwa segala tatanan kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara adalah didasarkan atas hukum. Oleh karena itu, baik lembaga dan aparat penegak hukum harus selalu siap menghadapi persoalan- persoalan hukum yang dialami oleh masyarakatnya sesuai dengan tingkat kewenangan atau kapasitas yang dimiliki secara adil dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

Maraknya tindak kekerasan seksual di Indonesia mengindikasikan bahwa ada masalah dalam nilai budaya, sosial, ekonomi dan politik di masyarakat. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang tidak manusiawi dan melanggar hak asasi manusia. Itu sebabnya, menyepelekan tindak kekerasan seksual sama halnya dengan menghalangi korban menikmati hak asasi dan kebebasan serta tidak menggubris pelaku kekerasan seksual dan menormalisasi hal yang salah dan tidak sepatutnya dibela. Sebagaimana yang telah disepakati dalam konferensi dunia tentang hak asasi manusia di Wina 1993 bahwa tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi. Wahyuni, F. (2021).

Sekali lagi, kasus kekerasan seksual yang sedang trending di media sosial merupakan  beberapa dari entah-berapa-banyak kasus kekerasan seksual yang tidak diusut dan diselesaikan dengan seharusnya. Kasus seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan kekeluargaan. Kasus yang sedang viral saat ini tentunya menjadi tamparan atas realita lucunya penanganan kasus kekerasan seksual dan perlindungan wanita atas kekerasan seksual.

Seharusnya dari peningkatan kasus kekerasan seksual di Indonesia, dapat menjadi renungan dan motivasi untuk pemerintah agar lebih “aware dan care” terhadap kasus kekerasan seksual. Pemerintah bisa membuat kebijakan kebijakan untuk melindungi korban dan harus membuat hukuman yang jera untuk pelaku agar dapat menurunkan kasus kekerasan seksual. Selain itu, pemerintah juga harus memberikan “rehabilitasi”, rangkulan dan dorongan kepada korban agar dapat melewati trauma, stress, ataupun tekanan yang dia alami. Akan tetapi, sampai saat ini, Indonesia belum memiliki suatu Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) tak kunjung disahkan padahal sudah diusulkan oleh Komnas Perempuan sejak tahun 2012.

Lantas, dimanakah ruang aman untuk perempuan?. Dimana perempuan bisa merasa aman tanpa was was akan adanya kekerasan seksual?. Apakah tugas seorang perempuan hanya diam dirumah saja?. Lalu, Apakah negara memberikan keadilan bagi para korban kekerasan seksual? Mau sampai kapan negara menutup mata dengan kasus kekerasan seksual? Lihatlah berapa banyak korban kekerasan seksual yang kasusnya diusut setelah diviralkan? Atau berapa banyak korban kekerasan seksual yang lebih memilih untuk diam daripada speak up untuk membela diri?. Apa harus menunggu hilangnya nyawa baru diproses kekeadilan?. Sadarlah! Mereka bukan hanya menanggung luka fisik dan batin, mereka juga berjuang sendiri karena suara yang bahkan tidak tendengar oleh penguasa negeri. “Kita ini rakyat biasa, hanya punya suara, sudah itu saja”.

DAFTAR PUSTAKA

Annisa. (2021). Demokrat Sesalkan Kasus Novia Widyasari Viral Dulu Baru Ditindak. From https://www.law-justice.co/artikel/121119/demokrat-sesalkan-kasus-novia-widyasari-viral-dulu-baru-ditindak/

Astuti, Nur A. Rizki (2019). Komnas Perempuan: Laporan Kekerasan Seksual Meningkat di 2018. From https://news.detik.com/berita/d-4456709/komnas-perempuan-laporan-kekerasan-seksual-meningkat-di-2018

Booklet Komnas Perempuan, , 2013, 15 Bentuk Kekerasan Seksual Sebuah Pengenalan, Jakarta

Brilio Case, “DARURAT KEKERASAN SEKSUAL”, diakses dari https://w ww.brilio.net/stories/kekerasan/

CNN Indonesia, “Komnas Perempuan: Tiap Hari, 8 Wanita Diperkosa di Indonesia”, diakses dari https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20191126131351-282-451567/komnas-perempuan-tiap-hari-8-wanita-diperkosa-di-indonesia.

Dewi, C. Rahma. (2021). PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA. From https://psbhfhunila.org/2021/08/01/pelanggaran-hak-asasi-manusia-di-indonesia/

Isma, A. (2021). Kasus Novia dan Sulitnya Menuntut Keadilan bagi Korban Kekerasan Seksual. From https://lpmperspektif.com/2021/12/05/kasus-novia-dan-sulitnya-menuntut-keadilan-bagi-korban-kekerasan-seksual/

Martoredjo, Thomas. (2020). INDONESIA SEBAGAI NEGARA HUKUM. From https://binus.ac.id/character-building/2020/12/indonesia-sebagai-negara-hukum/

Qur’ani, Nur Laili. (2021). HAM untuk Perempuan; Perlindungan Negara terhadap Kekerasan Seksual. From https://rahma.id/ham-untuk-perempuan-perlindungan-negara-terhadap-kekerasan-seksual/

Raynaldo Ghiffari Lubabah. (2021). KemenPPPA Catat Kekerasan Seksual Tertinggi Sebanyak 7.191 Kasus. Diakses dari https://www.merdeka.com/peristiwa/kemenpppa-catat-kekerasan-seksual-tertinggi-sebanyak-7191-kasus.html

Sulaiman, M. Reza. (2021). Penting! Menteri PPPA Tegaskan Kekerasan Seksual Adalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia. From https://www.suara.com/lifestyle/2021/11/25/193021/penting-menteri-pppa-tegaskan-kekerasan-seksual-adalah-pelanggaran-hak-asasi-manusia?page=2

Wahyuni, F. (2021). Perempuan, Pelecehan Seksual, dan HAM. From https://kumparan.com/fitrywahyuni43/perempuan-pelecehan-seksual-dan-ham-1w6PlQj0tHu/3

Kinasih, S. E. (n.d.). Perlindungan dan Penegakan HAM terhadap pelecehan seksual.